Kisah Souw Beng Kong dan Makamnya

3 comments
Bong pay (nisan) Souw Beng Kong

Saya tertinggal rombongan!

Karena suatu keperluan, saya harus mampir ke anjungan tunai mandiri (ATM). Saya memisahkan diri dari rombongan teman-teman NgopiJakarta atau Ngojak yang masih berjalan sekitar 50 meter dibelakang saya. Saat selesai, saya tidak menemukan satu pun dari mereka. Gawat! saya tertinggal rombongan.


Saya pun mencoba mencari keberadaan rombongan Ngojak, saya susuri sisi Jalan Pangeran Jayakarta yang mengarah ke Kota dengan berbekal nama tujuan kami saat itu, makam Souw Beng Kong.

Sabtu, 23 Februari 2019. Saya mengikuti kegiatan Ngojak offline yang bertajuk ”#Ngojak19 Kampung Toapekong dan Jayakarta; Selusur Cerita Tua di Tepian Ciliwung Lama”. Sebuah kegiatan penambah pengetahuan, terutama terkait sejarah yang terjadi di Kota Jakarta, yang kali ini memulai perjalanannya dari Stasiun Sawah Besar dan berakhir di Gereja Sion, Pinangsia, Jakarta Barat.

Titik kumpul di Stasiun Sawah Besar

Siap Selusur Cerita Tua di Tepian Ciliwung Lama

Dalam perjalanan tersebut, banyak tempat menarik dan bersejarah yang kami kunjungi. Mulai dari Masjid Lautze, vihara-vihara di Jalan Lautze yang letaknya berdekatan, Sekolah Kartini, Jembatan Merah, Masjid Jamie Jayakarta yang di dalamnya terdapat makam Kangdjeng Raden Mas Adipati Sosrodiningrat I. Lalu kami mengunjungi Makam Souw Beng Kong, dan Makam Raden Ateng Kertadria serta Gereja Sion di penghujung hari.

Masjid Lautze

Berfoto di depan vihara Tri Ratna di Jalan Lautze | Foto milik Ruri Hargiyono

Berfoto di Sekolah Kartini | Foto milik Ruri Hargiyono

Berfoto di Jembatan Merah | Foto milik Ruri Hargiyono
Masjid Jamie Jayakarta

Makam Kangdjeng Raden Mas Adipati Sosrodiningrat I

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya saya menemukan orang yang bisa saya tanya di mana letak makam Souw Beng Kong. Bapak berseragam petugas parkir itu pun menunjukkan arah berlawanan dari arah saya datang.

“Itu plangnya,” ujar dia sambil menunjuk sebuah plang bertuliskan `Situs Makam Kuno Kapiten Souw Beng Kong` yang berada di tengah jalan.

Ahh...untung bertanya, kalau tidak pasti terlewat cukup jauh.

Saat diberi tahu nama Souw Beng Kong oleh teman-teman Ngojak, saya membayangkan bahwa makamnya akan seperti kebanyakan makam-makam orang Tionghoa yang terpandang. Luas, megah, dan bersih. Apalagi saat wafat beliau masih disegani dan memiliki harta yang cukup melimpah.

Namun apa yang saya bayangkan, ternyata meleset hampir 100%.

Untuk menuju makam Souw Beng Kong, saya harus memasuki sebuah gang sempit yang saat itu riuh oleh anak-anak yang sedang bermain. Gang Taruna namanya. Sepanjang gang saya melihat sepeda motor berjejer terparkir di kanan kiri gang, beberapa ibu-ibu tampak berbincang di sebuah warung, ada pula aktivitas mencuci pakaian yang mesin cucinya terletak di depan rumah. Bahkan, saya melihat seorang bapak bertelanjang dada tertidur pulas di dipan ditengah bisingnya suara bocah bermain.

Hingga akhirnya, tibalah saya di makam Souw Beng Kong.

“Astagfirullahhaladzim,” kata itu yang pertama terucap dalam hati saya saat melihat kondisi makam. Ini jauh dari apa yang saya bayangkan.

Makam Souw Beng Kong adalah satu-satu makam yang berada di situ. Mungkin dulu tidak sendiri, namun saat kami berkunjung tinggal makam Souw Beng Kong yang ada. Makamnya dipagari oleh pagar teralis, tampak beberapa pakaian warga sedang dijemur di sana. Di atas makam pun dipasangi tali yang dimanfaatkan sebagai lahan jemuran oleh warga. Bagian depan nisan tergenang air dan tepat disamping area makam berdiri bangunan dua tingkat yang difungsikan sebagai musholla dan sumur sumber air warga.

Makam Souw Beng Kong diantara jemuran warga

Bagian depan tergenang air, mungkin sering pula banjir

Tertulis dalam buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644) yang disusun oleh Ir. Hendra Lukito dan diterbitkan oleh Yayasan Kapiten Souw Beng Kong, Souw Beng Kong lahir pada tahun 1580 di Hokkian, Tiongkok.

Kisah kesuksesan ekspedisi perdamaian dan perniagaan yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho (1371-1433) ke berbagai negara di Asia dan Afrika, menginspirasi sebagian besar penduduk di pesisir Tiongkok Selatan. Termasuk Souw Beng Kong yang saat itu masih berusia 24 tahun.

Dia dan beberapa temannya kemudian memutuskan untuk merantau dengan menumpang perahu Jung ke Nanyang (Asia Tenggara) hingga akhirnya berlabuh di Banten pada tahun 1604. Banten pada tahun tersebut merupakan kota perdagangan yang ramai, sering dikunjungi kapal-kapal asing termasuk perahu Jung dari Tiongkok.

Singkat cerita, Souw Beng Kong sukses menjadi saudagar eksportir lada dan menjadi tokoh tionghoa terkemuka di Banten. Beliau memiliki perkebunan lada yang sangat luas. Bahkan seperti yang tertulis dalam buku tersebut, Souw Beng Kong memiliki relasi yang cukup baik dengan Kesultanan Banten. Relasi inilah yang kemudian membuat Souw Beng Kong diberi kepercayaan untuk mengangani transaksi ekspor hasil bumi dari Banten. Setiap pedagang asing seperti dari Portugis, Inggris, dan Belanda harus bernegosiasi dahulu dengan Souw Beng Kong.

Salah satu sudut bangunan tinggi yang mengelilingi Makam Souw Beng Kong
Keberhasilan pasukan VOC mengalahkan Pangeran Jayakarta membuat Belanda mulai mengalihkan pusat pemerintahan dan perniagaannya ke Batavia. Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen memimpin pembangunan kembali Batavia yang telah porak poranda akibat perang.

Jan Pieterzoon Coen kemudian membujuk Souw Beng Kong yang telah dia kenal sebelumnya untuk pindah ke Batavia dan membantu VOC membangun Batavia. Salah satu tugasnya adalah untuk memimpin dan mendatangkan lebih banyak lagi tenaga kerja dari Tiongkok untuk mempercepat pembangunan Batavia.

Setelah kota Batavia berdiri, pada tanggal 11 Oktober 1619 Souw Beng Kong atau yang biasa dipanggil oleh Belanda dengan nama panggilan Bencon, diangkat sebagai pemimpin masyarakat tionghoa dengan pangkat Overste der Chineeszen.

Souw Beng Kong tidak lama memegang gelar atau pangkat itu, karena dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 7 Juli 1621, Souw Beng Kong dinaikkan pangkatnya menjadi Capitein der  Chineeszen yang sekaligus menjadikan Souw Beng Kong sebagai kapiten tionghoa pertama di Batavia, bahkan di seluruh Nusantara.

Souw Beng Kong wafat pada tahun 1644. Gang Taruna di Jalan Pangeran Jayakarta inilah lokasi makamnya. Sebelum menjadi kawasan padat seperti saat ini, lokasi makam Souw Beng Kong dulunya merupakan kebun kelapa seluas 20.000 meter persegi miliknya yang merupakan hadiah dari VOC.

Souw Beng Kong mungkin bukan pejuang bagi negara kita. Dia bahkan dengan jelas berada di pihak lawan dengan membantu urusan-urusan VOC di Batavia. Namun kisah dan makamnya adalah jejak sejarah, dan dari jejak itulah kita belajar tentang sejarah, terutama sejarah kota Jakarta.

Secara pribadi saya prihatin dengan kondisi makam Souw Beng Kong saat kami berkunjung ke sana. Padahal, kondisi yang kami lihat saat itu adalah kondisi yang jauh lebih baik dibanding kondisi makam sebelum dilakukan pemugaran.

Makam Souw Beng Kong telah beberapa kali mengalami pemugaran, tujuannya adalah untuk mempercantik dan melestarikan makam Souw Beng Kong berikut dengan kisah-kisah masa lalunya.

Kondisi makam Souw Beng Kong sebelum pemugaran | Sumber: Difoto dari buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644)

Kondisi makam Souw Beng Kong sebelum pemugaran | Sumber: Difoto dari buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644)

Kondisi makam Souw Beng Kong sebelum pemugaran | Sumber: Difoto dari buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644)

Kondisi makam Souw Beng Kong sebelum pemugaran | Sumber: Difoto dari buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644)

Kondisi makam Souw Beng Kong sebelum pemugaran | Sumber: Difoto dari buku Riwayat Kapiten Tionghoa Pertama di Batavia Souw Beng Kong (1580-1644)

Pemugaran terakhir kali dilakukan oleh Yayasan Kapiten Souw Beng Kong pada tahun 2008. Pemugaran meliputi pembebasan lahan di sekitar makam, pemasangan keramik, dan pagar teralis. Selain itu, gundukan tanah juga diganti dengan yang baru dan dipasang papan petunjuk jalan ke arah makam yang tadi tidak saya lihat.

Ngojak di Makam Souw Beng Kong


-Jakarta, 12 Mei 2019-

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

3 komentar

  1. Kasihan, ya, Mas, kondisinya seperti itu :(

    Sudah dikepung perkampungan padat seperti itu, tergenang pula. Padahal punya sisi sejarah yang luar biasa. Apakah ada keterangan lebih dari tentang tindak lanjut terhadap makam ini, Mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Qi. Maaf banget baru bales. Aku udah lama gak buka-buka blog. Sejauh ini sih hanya yang saya infokan di artikel tersebut, Qi. Mudah-mudahan akan segera ada perhatian ya

      Hapus